BULETIN WILAYAH XI
Pokok
Bahasan : Konteks Gereja
Sub Pokok Bahasan : Sejarah
Gereja di Indonesia
Tujuan Pembelajaran Khusus : Melalui
pelajaran ini katekisan dapat :
- Menjelaskan
pertumbuhan gereja dan penginjilan di Indonesia secara garis besar
- Mengidentifikasi
masalah-masalah yang dihadapi gereja di Indonesia pada kurun waktu masa
VOC dan penjajahan Belanda.
- Menghargai
keberadaan Gereja-Gereja di Indonesia yang berakar pada sejarah masa
lampau.
SEJARAH
GEREJA DI INDONESIA
Kepulauan Nusantara
(sekarang Indonesia)
memiliki sejarah yang panjang. Sebelum tahun 400 Masehi (abad 4) telah terjadi
berbagai perkembangan tetapi tidak ada peninggalan tulisan sehingga masa itu
kita sebut pra sejarah Nusantara. Sejarah Nusantara baru dimulai dengan
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha abad 4 sampai 15 yang tersebar di Kalimantan,
Jawa dan Sumatra. Kerajaan-kerajaan yang terkenal adalah Sriwijaya di Sumatra
Selatan (abad 7-13) dan Majapahit (13-15) di Jawa Timur, yang juga menjadi
salah satu mata rantai dalam jalur perdagangan antar Asia Timur (Tiongkok) dan
Eropa (Italia) melalui jalur laut. Sejak dulu Nusantara terkenal dengan hasil
rempah-rempah antara lain lada, kayu cendana, kemenyan, cengkeh, pala dan kapur
barus. Rempah-rempah itu telah menjadi primadona perdagangan internasional
dengan para pedagang datang dari Cina, India, Gujarat, Persia, Arab dan
kemudian orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris.
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang menyebarkan agamanya, muncul
pedagang-pedagang Gujarad, Persia dan Arab yang menyebarkan agama Islam.
Sejarah mencatat bahwa sejak abad 11
telah muncul kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Malaka, Jawa, Kalimantan, sampai
ke Nusantara bagian Timur yaitu Ternate, Tidore dan Hitu. Kerajaan-kerajaan ini
berkembang sampai abad 17 dan menyebarkan Islam yang menjangkau wilayah-wilayah
Nusantara seperti yang kita kenal sekarang. Walaupun Islam menguasai hampir
semua daerah pesisir pulau-pulau di Nusantara, tetapi agama-agama asli atau
suku tetap hidup terutama di pedalaman-pedalaman khususnya di pulau-pulau yang
secara perdagangan tidak menguntungkan, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Pada satu ketika jalur perdagangan
rempah-rempah dari Asia (khusus Nusantara) mengalami kemacetan. Rempah-rempah
tidak dapat lagi dibawa ke Eropa. Hal ini disebabkan perang salib antara
orang-orang Arab dan Turki (yang Islam) melawan orang-orang Germania (Kristen)
pada tahun 1095 – 1299 dan berlanjut sampai abad 16. Akibat perang ini banyak
wilayah Kristen di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi Islam. Malah wilayah
Spanyol dan Portugis beberapa abad dijajah Islam.
Kebangkitan melawan Islam sekaligus
sebagai upaya merebut daerah-daerah penghasil rempah-rempah (Nusantara) muncul
ketika Spanyol dan Portugis berhasil mengusir orang-orang Islam dari Eropa
Selatan. Kemenangan ini disambut Paus Gereja Katolik Roma Aleksander VI yang
memberikan mandat kepada Spanyol dan Portugis untuk menguasai dunia baru bagi
Gereja Katolik Roma (d.h.i. Paus). Kita ingat Colombus yang berlayar ke Barat
dan menemukan Amerika tahun 1492 dan Vasca da Gama ke Timur mencapai India
tahun 1498. Malah dengan cepat orang-orang Portugis menguasai Malaka 1511 dan
mendarat di Ternate 1512. Gereja Katolik Roma secara resmi beribadah di Ternate
tanggal 24 Juni 1522 (diperingati sebagai masuknya Gereja Katolik Roma ke
Indonesia).
Mulailah kegiatan Gereja di Maluku yang
dirintis oleh pater-pater Dominikan, Fransiskus dan Agustin. Belakangan datang
membantu pater-pater Jesuit dengan pelayanan Fransiscus Xaverius pada tahun
1546 sampai 1548. Hasilnya cukup berkembang dengan masuknya 47 desa di Leitimor
Ambon Saparua, Haruku, Nusalaut dan Seram Selatan memeluk Katolik Roma. Gereja
Katolik juga menjangkau Sulawesi Utara 1563 tetapi tidak berhasil membentuk
jemaat-jemaat seperti di Maluku. Begitu pula menyebar ke NTT dan berhasil
membangun Jemaat-jemaat Katolik di Flores, Solor dan Timor.
Perjalanan Portugis di Indonesia penuh
dengan tantangan. Tidak hanya dari Sultan-Sultan Islam (pater Simon Vaz dibunuh
di Morotai 1535) tetapi juga dari pihak Belanda dengan Verenigde Oost-Indische Campagnie (=VOC) badan dagang yang
didirikan 1602 yang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Terjadilah perang yang menentukan di
Teluk Ambon. Tanggal 23 Februari 1605, kapal-kapal perang Belanda dibawah
Laksamana Steven van der Haghen mengalahkan kapal-kapal perang Portugis dibawah
Laksamana Caspar de Mello. Benteng Portugis jatuh ke tangan Belanda, maka pada
hari Selasa, 27 Februari 1605 diadakanlah Ibadah Pengucapan Syukur di Benteng
Victoria, Ambon. Itulah ibadah Protestan yang pertama di Nusantara (dan Asia).
Sekarang, tanggal 27 Februari tersebut dijadikan sebagai titik tolak ulang
tahun GPI = Gereja Protestan di Indonesia. Sejak itu Ambon dijadikan pusat VOC
di Nusantara dengan dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Semua umat Katolik di
Ambon dialihkan menjadi umat Protestan. Dari Ambon dilakukan pelayanan oleh
tenaga-tenaga pendeta dari Belanda yang dibantu oleh perawat orang sakit yang
sebelumnya bertugas di kapal-kapal VOC. Pelayanan menjangkau pulau-pulau di
Maluku bagian Selatan seperti Kei, Aru, Tanimbar, Babar dan Kisar, juga
perjalanan pelayanan dari Bacan ke Minahasa dan Sangir tahun 1675 dan 1689.
Namun perkembangan pelayanan tersebut tidak memuaskan. Orang-orang Kristen di
Maluku bertambah dari 16.000 saat penyerahan dari Portugis (awalabad 17)
menjadi 33.000 pada akhir abad 17. Sejak 1612 telah ditempatkan pendeta di
Ambon dan tahun 1622 dibentuk Majelis Gereja di Banda dan 1625 di Ambon yang
mengorganisir pelayanan. Pendeta-pendeta mendidik guru-guru Ambon yang
selanjutnya berjasa memelihara jemaat - jemaat tatkala tidak ada lagi
penempatan pendeta karena merosotnya VOC.
Sementara itu VOC mencari pusat
perdagangan baru karena Ambon dianggap terlalu jauh. Maka dibangunlah kota
Batavia (=Jakarta sekarang) pada tanggal 30 Mei 1619 dan Jan
Pieterzoon Coen
diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Lalu bulan Desember 1619, diangkatlah Pdt.
Adriaan Jacobsz Hulsebos (sahabat Coen) menjadi pendeta di Batavia. Ia
mengadakan pelayanan Perayaan Perjamuan Kudus pertama yang dilaksanakan tanggal
3 Januari 1621 sekaligus membentuk Majelis Gereja Protestan di Batavia. Majelis
Gereja Batavia membuka pelayanan berbahasa Belanda di pusat VOC, (Taman
Fatahilah sekarang), Bahasa Portugis untuk orang-orang yang dimerdekakan
sebagai pengikut orang-orang Portugis atau keturunan Portugis di Tugu tahun 1633
(sekarang Jemaat GPIB
Tugu
Tanjung Priok). Sebelumnya sejak tahun 1621 telah dilaksanakan pelayanan
berbahasa Melayu yang mengambil lokasi di luar benteng (sekarang Taman
Fatahilah) dan sekarang kita kenal dengan Jemaat GPIB Sion di Kota. Sementara
itu dibuka pos pelayanan bahasa Melayu di Jatinegara (Gereja GPIB Bethel
Kononia sekarang), dilayani oleh Cornellis Senen (1600-1661), seorang guru
Injil asal Banda. Ia seorang kaya yang memiliki tanah di Jatinegara (yang
terkenal dengan Meester Cornellis) dan di daerah Senen (sekarang terkenal
dengan Pasar Senen).
Dari Batavia VOC membuka pelayanan di
Kupang (1613), Malaka (1641), Makasar (1670), Padang (1683), Surabaya (1708)
dan Semarang (1753). Sampai tahun 1624, di Nusantara ini terdapat 5 (lima)
Jemaat, yaitu Banda, Ambon, Bacan, Solor dan Batavia. Jemaat-jemaat ini pertama
kali mengadakan rapat bersama (Sidang Sinode) pada tanggal 8 Agustus – 20
Oktober 1624 di Batavia untuk memberlakukan peraturan Gereja Protestan di
Nusantara. VOC melakukan kegiatan Gereja sebatas merawat kerohanian orang-orang
Belanda yang berdagang dan pegawai-pegawainya (termasuk orang-orang pribumi
yang menjadi Kristen) di wilayah-wilayah Nusantara, khusus kota-kota pelabuhan.
Perawatan rohani itu mencakup ibadah-ibadah Minggu, Baptis, Perjamuan Kudus.
Katekisasi, pernikahan, pemakaman, menghibur orang-orang sakit,
kunjungan-kunjungan dan penerjemahan bagian-bagian Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Tidak ada data yang menjelaskan bahwa VOC memberitakan Injil untuk memenangkan
orang-orang pribumi yang masih belum beragama. VOC melakukan tugas rawatan
rohani berdasarkan Pengakuan Iman Belanda (1561, artikel 36 yang menugaskan
pemerintah untuk: “mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan
memusnahkan penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan
Anti-Kristus dan berikhtiar supaya Kerajaan YESUS KRISTUS berkembang, berusaha
agar Firman Injil dikabarkan ke mana-mana, supaya ALLAH dimuliakan dan dilayani
oleh tiap-tiap orang, sebagaimana diperintahkan-NYA dalam Firman-NYA.”
Sekalipun ada penugasan seperti ini,
tetapi VOC lebih mementingkan perdagangan. Boleh dikatakan tak ada upaya secara
berencana melakukan pekabaran Injil dan mendirikan Gereja di Nusantara.
Masyarakat yang beragama suku (percaya kepada leluhur) tidak dijangkau. VOC
lebih mengamankan kepentingan dagangnya dari rongrongan Sultan-sultan dan
raja-raja Islam. Untuk menjaga kepentingannya. VOC memonopoli perdagangan dan
membiarkan kerajaan Islam berkuasa di daerah-daerahnya masing-masing. Jadi VOC
tidak menjajah Nusantara sampai badan ini dibubarkan tanggal 31 Desember 1799
oleh Kerajaan Belanda. Korupsi yang merajalela dan merosotnya perdagangan
rempah-rempah menyebabkan badan ini gulung tikar. Secara otomatis pula
jemaat-jemaat yang dilayaninya juga terlantar dan tidak terurus. Bahkan
kebanyakan kembali lagi ke agama sebelumnya. Fakta sejarah membenarkan bahwa
warga masyarakat setempat (=pribumi) menjadi Kristen bukan karena percaya
sungguh-sungguh kepada TUHAN YESUS KRISTUS sebagai Juruselamat. Mereka menjadi
Kristen terutama karena faktor politik yaitu mencari perlindungan kepada
Portugis atau Belanda untuk mempertahankan diri. Juga oleh faktor psikologis yaitu
mengangkat martabat dan kedudukan yang dipersamakan dengan pendatang dari
Eropa. Sehingga mereka mengganti nama dan marganya dengan nama orang-orang
Eropa, walau sering terjadi bahwa orang-orang Eropa itu tidak menjadi teladan
secara moral dan etika. Persoalan-persoalan ini sering menjadi pergumulan
Gereja juga zaman selanjutnya.
Dengan bubarnya VOC, Belanda secara
resmi berkuasa atas Nusantara sebagai wilayah jajahannya sejak 1 Januari 1800.
Belanda mulai mengadakan langkah-langkah penataan, namun mengalami kesulitan
karena perkembangan yang terjadi di Eropa. Revolusi Perancis 14 Juli 1789 dan
ekspansi Napoleon
Bonaparte
(1799-1815) turut mempengaruhi peta politik di Eropa. Belanda berada dalam
pengaruh Perancis dan permusuhan Perancis dengan Inggris turut menyeret
Belanda. Atas restu Napoleon, Herman
Willem Daendels
ditempatkan sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara (1808-1811) dengan tugas
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels gagal mempertahankan pulau
Jawa, dan Nusantara resmi dikuasai Inggris (1811-1816). Thomas Stamford Raffles menjadi penguasa Inggris di Nusantara
dengan pangkat Letnan Jenderal. Jasa-jasa Raffles tidak hanya terlihat dalam
membangun Kebun Raya Bogor, tetapi juga dalam pelayanan Gereja. Ia mendirikan
Yayasan Penginjilan dan mendorong pertumbuhan Gereja, khusus di Batavia dan
Surabaya, termasuk penerjemahan Alkitab. Inggris mengakhiri peranannya di
Nusantara tahun 1816 berdasarkan Konvensi London 1814. Belanda kembali berkuasa
dan menerapkan 3 (tiga) kebijakan penting.
Pertama, dibidang pendidikan
di mana penduduk setempat (pribumi) diperkenankan menempuh pendidikan dasar dan
menengah, dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Kebijakan ini terutama
didorong oleh gerakan humanism di Eropa dan tanggung jawab pemerintah untuk
mengupayakan kemajuan di antara masyarakat. Pendidikan dasar dan menengah ini
ditingkatkan dengan berdirinya sekolah-sekolah termasuk sekolah-sekolah zending
dan sekolah Teologi.
Kedua, di bidang ekonomi
dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi dan keuangan di Negeri Belanda dan
juga daerah-daerah jajahannya. Masyarakat digerakkan untuk menanam jenis-jenis
tanaman yang dibutuhkan pasaran dunia yaitu: kopi, teh, karet dan kina. Usaha
ini diikuti dengan dibukanya perkebunan-perkebunan di Jawa dan Sumatra.
Kebijakan ini dikenal dengan Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel)
sejak 1830. Walau kebijakan inimengalami kemajuan pesat tetapi hasilnya tidak
dinikmati rakyat. Bagi Gereja zaman itu contoh pembangunan di bidang ekonomi
ini mengilhami Gereja juga untuk mendorong pembangunan ekonomi Jemaat, antara
lain dengan membuka lahan untuk kebun-kebun Jemaat.
Ketiga, di bidang agama,
dimana pemerintah memproklamirkan adanya kebebasan beragama, sejak pemerintahan
Daendels di Nusantara. Kebijakan ini dilatar-belakangi oleh aliran Pencerahan
di Eropa abad 18 yang sangat menekankan kemandirian manusia yang bebas dari
semua kuasa di luar dirinya baik yang duniawi maupun ilahi. Manusia bebas
menentukan apa yang baik dan penting bagi hidupnya. Juga dalam hal beragama
atau tidak. Hal-hal yang diluar akalnya tidak harus mengikat dirinya termasuk
Gereja. Kebebasan beragama ini juga tak hanya dipengaruhi aliran pencerahan,
tetapi juga ada aliran lain di kalangan orang-orang Kristen yang disebut
pietisme (= gerakan kesalehan).
Gerakan ini mengajarkan bahwa hidup
saleh ditandai dengan hidup suci yang dibuktikan dengan pertobatan pribadi oleh
kuasa Roh Kudus dan baptis ulang. Selain itu gerakan ini mendorong orang-orang
Kristen untuk tidak terikat pada organisasi Gereja dan bila perlu berjuang
membuat Gereja-gereja bertobat. Mereka membangun solidaritas orang-orang
Kristen dan menggerakkan untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia. Keanggotaan
gereja tidak penting.
Kebijakan-kebijakan di atas diterapkan
di daerah jajahan Belanda di Nusantara. Namun tidak mudah, karena menghadapi
masyarakat yang sangat majemuk. Lagi pula masyarakat mengalami kemiskinan
karena perdagangan rempah-rempah merosot tajam. Lalu kerajaan-kerajaan setempat
semakin dikurangi kekuasaannya oleh Belanda. Nafsu penjajahan menimbulkan
kebencian dari masyarakat. Muncullah pemberontakan-pemberontakan setempat
dimulai dari Thomas
Matulesy (Pattimura)
di Maluku, 1817; Diponegoro di Jawa, 1825-1830; Imam Bonjol di Sumatera,
1821-1837; Hidayat di Kalimantan,
1859-1852; Sisingamangaraja XII di Tapanuli, 1878-1907; dan banyak
lagi daerah-daerah yang bergolak melawan Belanda.
Menghadapi keadaan yang bergolak ini
Belanda mengadakan konsolidasi pemerintahan dan menanamkan kekuasaannya di
seluruh wilayah Nusantara. Bersamaan dengan itu disusun dua langkah di bidang
agama untuk menghadapi keadaan, khusus Islam.
Pertama, menghimpun kembali
Jemaat-jemaat Protestan yang telah ada sejak VOC dan mengorganisir orang-orang
Protestan di seluruh wilayah Nusantara ke dalam Gereja Protestan di India Timur
(De Protestantsche Kerk in Oost Indie) dengan keputusan pemerintah 1815 dan
dilaksanakan tahun 1840. Dibentuklah Majelis Gereja dibawah Departemen
Perdagangan dan Daerah Jajahan. Pusatnya di Gereja
Immanuel, Merdeka Timur 10 Jakarta sekarang. Untuk itu dibangun Gereja Raja Willem
(sekarang Immanuel) tahun 1835-1839. GPI sering disebut sebagai Gereja yang
diatur oleh Negara dengan sistem birokrasi dan organisasi yang ketat.
Pembiayaannya oleh Negara.
Kedua, mengizinkan
badan-badan penginjilan dari Eropa masuk ke Nusantara untuk menginjili penduduk
asli yang belum beragama agar menjadi Kristen. Oleh pengaruh Pietisme (seperti
disebut 5.5) terbentuk badan-badan penginjilan (zending) di Inggris, Belanda,
Jerman dan Swiss. Saat Inggris berkuasa di Nusantara, misi dari London bekerja
di Jakarta dan Baptis di Semarang. Selanjutnya penginjilan dari Belanda yang
bekerja di Nusantara. Sedangkan Tapanuli dilayani oleh penginjilan dari Jerman
dan Kalimantan oleh penginjilan dari Swiss. Badan-badan penginjilan ini bekerja
secara mandiri tanpa bergantung pada Negara, walau sering dihambat karena
dianggap merugikan kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya dari Negara.
Boleh dikatakan GPI dan Badan-badan penginjilan (zending) bahu membahu melaksanakan
dan mengembangkan kekristenan di Indonesia. Sementara itu gereja Roma Katolik
dengan kebijakan kebebasan beragama di perbolehkan melakukan kegiatan di
Nusantara. Dibangunnya Gereja
Katedral
baru pada 1891 menandai keagiatan-kegiatan Gereja Katolik Roma dibawah
pater-pater Jesuit dan yang lainnya di Nusantara.
Selanjutnya kita akan mempelajari
secara singkat Gereja Protestan di bawah Negara.
Gereja Protestan yang diasuh Negara
disebut De Protestansche Kerk in Oost Indie, kemudian berganti nama menjadi De
Protestansche Kerk in Nederlands-Indie. Lalu menjelang kemerdekaan disebut De
Protestansche Kerk in Indie. Akhirnya tahun 1948 dirubah menjadi Gereja
Protestan di Indonesia (GPI). GPI, melalui
pemerintah Belanda bekerja sama dengan Gereja Hervormd Belanda (De
Nederlandsch Hervormd Kerk atau Gereja Reformasi/Pembaruan Belanda) menempatkan
pendeta-pendeta Belanda di Indonesia. Mereka melayani di Batavia (= Jakarta), Ambon,
Manado/Tomohon, Kupang, kemudian Semarang, Surabaya, Makasar, Padang dan
kota-kota besar lainnya. Umumnya melayani orang-orang Belanda, pegawai-pegawai
dan tentara yang umumnya berasal dari Ambon, Minahasa dan Timor. Disamping itu
GPI bekerjasama dengan badan-badan zending Belanda (Nederlandsch Zendeling
Genootschaap = NZG), untuk membangun
kembali jemaat-jemaat di Maluku. Joseph Kam dipekerjakan di
Ambon tahun 1815-1833 dan mengunjungi hampir seluruh wilayah Maluku sampai ke
Timor, Minahasa dan Sangir. Ia digelar Rasul Maluku karena kegiatannya
mengunjungi Jemaat-jemaat, menyediakan tenaga guru, dan fasilitas pelayanan
seperti bahan-bahan khotbah dan katekisasi.
GPI juga bekerjasama dengan NZG
melayani di Minahasa melalui 3 (tiga) penginjil terkenal Gerrit Jan C.
Hollendorn (1827-1839), Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlob Schwarz
(1831 sampai1880-an) termasuk membuka sekolah-sekolah untuk masyarakat. Di
Timor GPI bekerjasama dengan NZG dan disana ditempatkan pendeta-pendeta
penginjil seperti R. le Bruijn (1819) dan Yohanis Condrad Terlinden (1829) di
pulau Rote. Mereka juga melayani dan membuka sekolah-sekolah.
Di lain pihak (di luar GPI) muncul
penginjilan-penginjilan yang dilakukan secara pribadi atau kelompok. Di Jawa
Timur juga tercatat nama seperti: Johanes Emde (1774-1859) yang
bekerja di Surabaya menyebarkan Alkitab, serta mengkristenkan dengan menerapkan
budaya Eropa (harus meninggalkan adat setempat). Conrad Laurence Coolen
(1775-1858) mendirikan desa rohani (Islam dan Kristen) di Ngoro (Selatan
Surabaya) dengan mengajarkan kekristenan secara “ngelmu”, zikir, mempergunakan
gamelan, wayang dan mendorong agar tetap mempertahankan budaya Jawa. Pengikut-pengikut
Coolen bertapa dan mencari hubungan dengan KRISTUS sebagai “Guru”.
Pengikut-pengikutnya antara lain Kyai Ibrahim alias Kyai Ngabdulah alias
Tunggul Wulung yang menginjili di daerah Juwana-Jepara, gunung Muria dan
sekitar. Selain itu Kyai Zadrack (1840-1924) di Purworejo Jawa Tengah. Juga Pa
Dasima serta Paulus
Tosari
dari Ngoro, yang mendirikan desa Kristen di Mojowarno sekitar tahun 1834 dan
1840. Dua nama terakhir ini menjadi perintis berdirinya Gereja Kristen Jawi
Wetan (GKJW). Di Batavia ada nama-nama seperti Cornelis
Chastelein
pada tahun 1714 membebaskan pengikut-pengikutnya dalam 12 marga (a.l.
Jonathans, Bäcas, Sudira) untuk mengolah tanahnya di Depok (de Eerste
Protestant Organizatie Kerk, Jemaat GPIB Depok sekarang) dan memberikan
mereka 12 marga yang membentuk Jemaat disana. Selain itu ada seorang tokoh
(awam): Mr. F.L Authing, wakil Ketua Mahkamah Agung yang menginjili Kampung
Sawah dan Gunung Putri (Jemaat-jemaat GKP sekarang). Juga Pdt. E.W. King yang
membentuk Jemaat Jatinegara (GKP Rehoboth sekarang).
Sebelum GMIM berdiri, muncul perpecahan
di Sulawesi Utara sehingga mendahului terbentuknya GMIM, pada tahun 1933 telah
berdiri Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM). GMIM memperluas
penginjilannya ke Gorontalo (muncul Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo),
Buol Toli -Toli (menjadi Gereja Protestan Indonesia di Buol-Toli-Toli),
Donggala (Gereja Protestan Indonesia di Donggala).
GPM melaksanakan penginjilan ke Papua
(menjadi GPI Papua). GPI tetap menjadi Gereja dan terbuka menerima anggota baru
antara lain Gereja Kristen Luwuk-Banggai.
Pada jalur lain kekristenan di
Indonesia pada parohan abad 19 (± 1860 an) berkembang melalui pelayanan
penginjilan (zending atau misi) dari Eropa (Belanda, Jerman, Swiss) dan dari
Amerika Utara. Badan-badan penginjilan dari Belandalah yang paling berperan di
Nusantara. Kurang lebih 10 badan penginjilan, yang terbesar adalah Nederlansche
Zendeling Genootschap (NZG) yang bekerja di
Maluku, Minahasa, Jawa Timur, Tanah Karo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Badan-badan penginjilan Belanda lainnya bekerja di Papua, Halmahera, Sangir
Talaud, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumba, Bali dan
Kepulauan Riauw. Hasil penginjilan dari Belanda itu antara lain : GKP dan GKI
dan GKJW (Jawa), GKPB (Bali), GKS (Sumba), Gereja Toraja, GKST (Sulawesi
Tenggara), GMIST (Sangir Talaud), GMIH (Halmahera) dan GKI Papua. Selain itu
Bala Keselamatan terbentuk di Palu dan Bandung. Badan penginjilan Jerman
(Rheinish Missiongeselschap – RMG) bekerja di Kalimantan dan Tapanuli (terkenal
nama: Nomensen) dan Nias. Pekerjaan mereka di Kalimantan dilanjutkan oleh penginjilan
dari Swiss. Hasil penginjilan mereka menghasilkan antara lain HKBP, GKPS, HKI,
BNKP (Nias) dan GKE (Kalimantan). Selanjutnya penginjilan dari Amerika Utara
berlangsung melalui Kemah Injil (1928) di Kalimantan Timur, Makasar dan Papua;
Gereja Pentakosta (1921) di Jawa Tengah dan Surabaya; Advent (1900); Metodis
menginjili Sumatera Utara (1905). Penginjilan Baptis sendiri telah masuk di
Jawa Tengah tahun 1814 tetapi tenggelam dan baru muncul lagi tahun 1952. Para
penginjil menghadapi medan pelayanan yang tidak mudah. Islam sudah sangat kuat,
agama-agama suku (leluhur) memiliki pengaruh yang berakar dalam masyarakat,
sarana dan prasarana yang belum tersedia dan hidup masyarakat yang miskin dan
butu huruf. Para penginjil tidak hanya memberitakan Injil secara verbal
(kata-kata) tetapi juga membangun masyarakat dengan desa teladan (seperti
Hutadame di Tapanuli atau Kebung Gunung di Sangir, Duma di Halmahera atau
Mojowarno di Jawa Timur). Juga dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan
penginjil, rumah sakit, panti asuhan, kebun-kebun jemaat (ekonomi) serta
membangun relasi dengan masyarakat setempat. Semua usaha penginjilan ini
dikoordinasikan oleh satu badan yang disebut Zendingsconsulaat (1906) sehingga
dihindari konflik antar lembaga penginjilan di Indonesia. Badan ini bekerja
bersama dengan GPI dan membentuk Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, DGI (sekarang: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia – PGI) tanggal 25 Mei 1950
di Jakarta. Selain itu penginjilan ini juga ditopang oleh Lembaga Alkitab
Belanda yang menyediakan Alkitab dalam bahasa Melayu, menerjemahkan dalam
bahasa-bahasa daerah dan menyediakan tenaga-tenaga penerjemah. Lalu berdiri Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1954.
Antara tahun 1920 sampai 1939, umumnya
Gereja-gereja baik yang diasuh Negara maupun badan penginjilan mengalami
kemandirian dan berdiri sendiri. Tenaga-tenaga pribumi telah dididik melalui
sekolah-sekolah pendeta/penginjildan Sekolah Tinggi
Teologia di Jakarta
(1934) dan bersiap mengambil alih kepemimpinan dari tangan orang-orang asing
(Eropa dan Amerika). Sementara persiapan pengalihan itu berlangsung, muncul
Perang Dunia II (1940-1945). Gereja-gereja di Indonesia sangat menderita.
Selain para pendeta asing dibunuh atau ditawan, juga orang-orang Kristen
dianggap pro Belanda dan dimusuhi Islam. Walau tidak sedikit orang-orang
Kristen yang berjuang dalam gerakan nasionalisme baik sebelum maupun sesudah PD
II, kecurigaan tetap berlanjut. Berdirinya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia
(DGI) merupakan antiklimaks dari konsolidasi gereja-gereja di Indonesia sesudah
PD II, dan sekaligus memperlihatkan bahwa gereja-gereja di Indonesia merupakan
kekuatan sosial dan keagmaan yang diperhitungkan pemerintah RI di bawah Presiden
Sukarno. Tokoh-tokoh bangsa antara lain seperti Dr .W.Z. Johanes, Mr.J.
Latuharhary, Mr. A.A. Maramis, Dr. Sam Ratulangi, Dr.T.S.G.Mulia, Mr. Amir Syarifudin, Dr J. Leimena dan Letjen. T.B. Simatupang, merupakan orang
Kristen yang berperan penting dalam persiapan kemerdekaan dan perjuangan
revolusi kemerdekaan. Mulailah era baru partisipasi gereja dalam masyarakat dan
bangsa dengan Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sejarah DGI (atau
PGI sekarang) dapat dipelajari dari pelajaran tentang Gerakan Oikumene di
Indonesia. Perkembangan gereja-gereja di Indonesia setelah tahun 1950 banyak
diwarnai oleh peranan gerakan Oikumene baik dari dalam negeri meupun luar
negeri (internasional). Secara internasiomnal gerakan oikumene ini berhadapan
langsung dengan gerakan-gerakan baru dalam gereja-gereja yang memunculkan
aliran-aliran baru, antara lain gerakan kharismatik. Gerakan ini cenderung anti
gereja-gereja “lama” yang dianggap kurang “bergairah” dan tak menampakkan
tanda-tanda Roh Kudus seperti bahasa-bahasa roh, pertobatan dan hidup suci
secara normal dan menjauhi hal-hal duniawi seperti politik. Gerakan kharismatik
ini tidak hanya ingin membarui gereja-gereja Protestan tetapi juga
gereja-gereja Pentakosta yang dianggapnya sudah “membeku”. Gerakan ini muncul
pada tahun 1970-an dan sampai saat ini dengan bebas mengadakan pelayanan
“pertobatan” dan sering mengganggu hubungan antara gereja-gereja di Indonesia.
Kita tiba pada
beberapa kesimpulan :
- Kekristenan
masuk ke kepulauan Nusantara (Indonesia) melalui jalur perdagangan
international sebagaimana juga yang dialami agama-agama lainnya sejak abad
4 Masehi. Baik agama Hindu dan Budha dari India maupun Islam dari Arab
serta Kristen dari Eropa pada awalnya dibawa oleh para pedagang.
- Masuknya
agama-agama ini tidak serta merta meniadakan agama-agama suku (warisan
leluhur suku-suku itu) yang telah beruratakar di Indonesia. Malah pengaruh
agama-agama suku tersebut terasa dalam cara penghayatan iman yang sering
bersifat spiritisme (percaya kuasa-kuasa roh-roh), mistik (percaya
kekuatan-kekuatan gaib),legalistic (mengandalkan aturan-aturan sebagai
jalan keselamatan) dan eksklusif (menganggap diri sendiri benar dan yang
lain jelek).
- Sejak
awal perjuangan Kristen dengan Islam (yang sudah ada sebelumnya) sering
ditandai dengan kecurigaan dan yang mengakibatkan ketegangan bahkan
konflik. Keadaan seperti ini sudah muncul sejak abad 15 di Maluku dan
berlanjut seperti yang kita alami dalam peristiwa Ambon (1999) dan
kemudian Poso (2000).
- Gereja-gereja
kita, baik diasuh Negara maupun badan-badan “penginjilan “, umumnya
terbentuk dengan latar belakang suku atau kedaerahan. Sehingga
gereja-gereja kita mudah terpecah bukan karena ajaran tetapi sering oleh
factor-faktor non teologis seperti suku, ekonomi dan
kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok.
- Gereja-gereja
kita sampai pada tahun 1960-an mengembangkan kemandirian dan berperan
dalam masyarakat dan bangsa. Malah oleh gerakan oikumene internasional
belajar dan berusaha merumuskan teologinya (ajaran, ibadah, pelayanan dan
kesaksiannya) dalam hubungan dengan pergumulan bangsa dan Negara
Indonesia. Tetapi setelah tahun 1970 sampai sekarang sering disibukkan
dengan soal-soal yang berhubungan dengan gerakan kharismatik yang banyak
berorientasi pada budaya kerohanian Amerika Utara yang bebas dan cenderung
merelatifkan warisan-warisan yang dipegang gereja-gereja.